Penetapan tersangka dan penahanan terhadap mantan rektor Untad dua periode Muhammad Basir Cyio, mengundang keprihatinan masyarakat. Ada yang menarik dalam hal ini. Nampaknya semakin banyak daftar tokoh yang terlihat memiliki integritas dan ketokohan baik di masyarakat pada akhirnya juga terjerat dan masuk dalam lingkaran korupsi. Pada level nasional terbaru ada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, yang selama puluhan tahun di birokrasi ini tidak pernah terdengar tersangkut proses hukum pada akhirnya juga resmi ditangkap dan ditahan KPK dengan sangkaan korupsi.
Fenomena ini nampaknya wajar menjadi perhatian akan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana melihat wajah penegakan hukum ke depannya.
Adanya dugaan bahwa penyelewengan anggaran pada saat ini sudah demikian masifnya dan terjadi bukan hanya lintas sektoral tapi juga hampir terjadi di seluruh tingkatan struktural tentu sangat memprihatinkan. Sebab pada akhirnya bisa terjadi di mana penyimpangan korupsi dalam berbagai bentuknya akan dianggap lazim atau lumrah.
Sebab yang muncul ke permukaan dan ditangani oleh penegak hukum terkesan “hanya yang apes saja” atau karena tidak adanya backing politik di belakangnya. Ataupun fenomena lain di mana sering terjadi bahwa proses hukum baru dapat ditangani dan ditindaklanjuti, setelah adanya dorongan kuat "setelah viral" dari masyarakat seperti yang terjadi pada “kasus Sambo”.
Terjadinya fenomena dimana penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor politik sepertinya makin lama makin nyata di republik ini. Harus diakui bahwa terjadi dugaan kuat dimana kepentingan hukum acapkali harus tunduk kepada kepentingan politik. Sebuah pelanggaran yang terjadi bisa menyeruak ke ruang hukum bisa sangat dipengarungi oleh waktu tergantung kondisi dan kekuatan politik pihak kelompok tertentu hingga kepentingan politik menjadi lebih utama walaupun pada saat yang sama masyararakat menyaksikan bahwa perilaku koruptif itu terjadi dengan sangat nyata.
Yang lebih parah lagi adalah jika proses hukum terjadi akibat adanya tawar menawar dan saling menyandera kepentingan politik yang pada akhirnya penegakan hukum tidak lagi untuk tujuan efek jera, tetapi berubah menjadi ajang “balas dendam” politik, atau mematikan karakter dari tokoh yang menjadi tertuduh demi kepentingan pragmatis tertentu.
Penegakan hukum yang murni berdasarkan kepentingan umum harus mendapat perhatian, agar gerak langkah bernegara tidak tersandera oleh kepentingan-kepentingan politik dengan tameng penegakan hukum kepada lawan-lawan politik pada saat yang sama kawan politik dilindungi atau sengaja mencari perlindungan hukum dalam lingkaran kekuasaan. Sebab jika ini terjadi rakyatlah sebagai pemilik mandat terhadap keberlanjutan negara yang dipertaruhkan dan dirugikan.
Sebagai masyarakat sipil, tentu tak cukup melihat ini sebagai kasus-perkasus yang berdiri sendiri, namun harus melihat dalam lingkup yang lebih besar dan menyeluruh tentang efektifitas sistem penegakan hukum di Indonesia, serta bagaimana seharusnya para pemegang kebijakan tertinggi di negeri ini harus benar-benar serius membenahhi hukum dan menjauhkannya dari intrik-intrik kepentingan politik dengan dalih penegakan hukum yang dianggap hanya “tajam ke lawan dan tumpul ke kawan” dengan tujuan yang justru untuk merusak nama dan reputasi bukan murni penegakan hukum. Ataupun penegakan hukum yang hanya menunggu waktu dan momen-momen tertentu.
Sejatinya, keberpihakan pada hukum yang tegak lurus menjadi keniscayaan yang harus terus dijaga. Katakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, tanpa embel-embel kepentingan lain.
Masyarakat tentu berharap, masih ada harapan agar sistem birokrasi di Indonesia tidak menjadi ”jebakan” yang siapapun yang berada dalam lingkaran berpotensi untuk terjebak dalam lingkaran korupsi yang sama. (*)
إرسال تعليق